Gereja yang Berwarna Hindu-Jawa

SUASANA di gereja Desa Puh Sarang, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, malam itu begitu khusuknya lamat-lamat pula terdengar suara tetabuhan gamelan Jawa dari arah gedung serba guna gereja. Suara koor gerejani dalam bahasa Jawa mengalun diiringi suara musik gamelan Jawa. Saat Jumat legi kemarin, jalan desa itu dipenuhi kendaraan peziarah dari luar kota.

Sekitar 3000-an orang umat Katolik datang kesini, berziarah, berdoa di depan Gua Bunda Maria Lourdes. Diperkirakan 10.000 orang akan hadir dalam upacara besar "Pembukaan Jubileum Agung Tahun 2000" di wilayah Keuskupan Surabaya, yang akan diselenggarakau di Puh Sarang, Minggu 26 Desember 1999.
Perhatian utamanya bakal tertuju kegereja antik Pub Sarang yang dibangun tahun 1936 olch seorang arsitek antropolog pengagum kebudayaan Majapahit. Arsitekturnya berpola inkulturasi (penyerapan budaya lokal) Hindu Jawa.
Puh Sarang adalah nama sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Semen, terletak di sekitar 10 km arah tenggara kota Kediri. Poh Keputih, tampaknya merupakan asal nama ini.Posisinya bcrada di lereng timur Gunung Klotok, Komplek Pegunungan Wilis, berupa kawasan bcrkontour, berudara dingin, dan batu kali menjadi kekayaan desa ini. Sungai Kedak yang melewati Puh Sarang dipenuhi batu, sehingga batu kemudian menjadi mata pencaharian kedua,selain bertani.

"Orang sini hidup dari memecah batu. Saking banyaknya batu, harga batu untuk bangunan bisa lebih murah daripada harga batu bata", tutur Rudi (25), pemecah batu, juga kuli bangunan.Scorang laki-laki dengan tenaga penuh sesiangan bisa memukul pecah batu hingga 20 cikrak sehari. Itu berarti penghasilan mereka sekitar Rp 15.000 - Rp 20.000 sehari.

GEREJA Puh Sarang mcnarik karena fisik bangunan gerejanya. Arsitekturuya sengaja dibikin setengah mirip dengan candi-candi Jawa Hindu di Jatim dan Jateng kuno. Keunikan itu tampaknya muncul discbabkan oleh pilihan metode dakwah pendirinya, Pastor Wolters, CM dibantu seorang antropolog arsitektur Ir. Henricus Maclaine Pont. Gereja berusaha melakukan inkulturasi, proses pada saat mana kebudayaan lokal diserap untuk memahamkan ajaran gereja komunitas lokalnya. Puh Sarang didirikan sebagai gereja inkulturasi dengan pendasaran pada filsafat Hindu-Jawa.
Ketua Stasi Puh Sarang Mbah Tukiman (70-an) memiliki sebuah salinan tulisan anonim yang tampaknya merupakan hasil sebuah riset akademis sejarah Puhsarang.Terekam di situ, bahwa sejak semula Pastor Wolter, CM mengonsep gereja Puh Sarang ini sebagai sebuah "Gereja Hindu Jawa". Harapan Wolters sesuai dengan obsesi Maclaine dan pengetahuannya yang dalam tentang situs Majapahit di Trowulan, sehingga Puh Sarang didesain dengan konsep Hindu-Jawa itu.
Paul Jansen, stasi Puh Sarang tahuan 1950-an menjelaskan, betapa inkulturasi bentuk bangunan gereja sebagaimana Puh Sarang tetap perlu di masa itu. Proses inkulturasi itu, dalam sejarah puh Sarang bahkan sudah makin jauh, antara lain dengan menggunakan tarian Jawa meskipun kemudian ditolak oleh umat.

Pub Sarang masa kini sudah makin berkembang secara fisik. Gereja membeli berhektar-hektar tanah penduduk setempat. Warga setempat yang juga umat tentu saja memberikan karena selain gereja membeli dengan harga tiga kali lipat harga pasar, juga karena warga juga rela tanahnya digunakan untuk pelayanan. Maklum penghasilan warga cuma pemecah batu kali, dan gereja juga menyediakan tanah pengganti.

Keuskupan Surabaya juga merestui pcmbangunan Gua Bunda Maria Lourdes yang megah lcngkap dengan plaza tempat perenungan yang bisa menampung ribuan orang.Di situpun dibangun replika jalan salib Golgota, pondok-pondok Rosario, yang nantinya akan diresmikan pada Upacara besar "Pembukaan Jubileum Agung lahun 2000".
Tidak heran jika Puh Sarang kini berkembang menjadi daerah tujuan wisata baru.
Tanah-tanah sekitar lokasi Pub Sarang kini harganya melonjak karena datangnya pembeli tanah dari Jakarta, yang merencanakan hendak membangun penginapan-penginapan. Begitulah proses inkulturasi kini menemukan bentuk barunya,berupa reproduksi simbol spiritual dan bahkan peluang bisnis penginapan, selain tambahan penghasilan penduduk menjaga penitipan sepeda.

( Harian KOMPAS, Jumat , 24 Desember 1999 hal. 17 )