Gereja yang Unik

GEDUNG GEREJA YANG KUNO DAN KHAS BENTUKNYA

Gereja Katolik di Puh Sarang didirikan oleh Ir. Henricus Maclaine Pont pada tahun 1936 atas permintaan pastor paroki Kediri pada walctu itu, Pastor H. Wolters, CM. Insinyur tersebut juga menangani pembangunan Museum di Trowulan, Mojokerto, yang menyimpan peninggalan sejarah Kerajaan Majapahit.
Sayang bahwa gedung museum di Trowulan itu sudah hancur pada tahun 1960 karena kurang dirawat dengan baik sebab kurangnya dana untuk pemeliharaan dan perawatan. Bangunan gereja Puh Sarang mirip dengan bangunan museum Trowulan, maka dengan melihat gereja sekarang kita bisa membayangkan bagaimanakah bentuk museum Trowulan dulu kala. Pastor Wolters, CM, minta agar sedapat mungkin digunakan budaya lokal dalam membangun gereja di stasi Puh Sarang, yang merupakan salah satu stasi dari paroki Kediri pada waktu itu.

Peletakan batu pertama gereja tersebut dilakukan pada tanggal 11 Juni 1936, bertepatan dengan pesta Sakramen Mahakudus, oleh Mgr. Th. de Backere, CM, Prefektur Apostolik Surabaya pada waktu itu. Dalam gereja kuno ini terdapat dua bagian pokok yakni Bangunan Induk dan Bagian Pendapa.

Kalau kita melihat dari jauh, gereja di Puh Sarang mirip dengan perahu yang menempel pada sebuah bangunan mirip gunung. Bangunan yang mirip gunung ini melambangkan atau menggambarkan Gunung Ararat di mana dulu perahu nabi Nuh terdampar setelah terjadi air bah, yang menghukum umat manusia yang berdosa (Kej 8:4), sedangkan bangunan yang mirip perahu tadi menggambarkan atau melambangkan Bahtera atau Perahu Nabi Nuh, yang menyelamatkan Nuh dan keluarganya yang percaya pada Allah, bersama dengan binatang-binatang lainnya.

BANGUNAN INDUK
Bangunan Induk yang mirip dengan gunung tadi merupakan bagian sakral atau kudus di mana terdapat altar dan sakramen mahakudus, Bejana Baptis, sakristi dan tempat pengakuan dosa. Bagian ini dulu dikhususkan untuk mereka yang sudah dibaptis, yang telah menjadi anggota umat. Pada masa dulu di dalam gereja memang dipisahkan antara mereka yang massh calon baptis dengan mereka yang sudah dibaptis, namun perbedaan itu sekarang sudah dihapuskan. Setiap orang, bahkan mereka yang tidak katolikpun, kalau ia mau dapat masuk ke dalam bagian ini, asalkan dia tidak mengganggu kekhidmatan ibadat. Memang dalam budaya Jawa gunung atau Gunungan adalah lambang tempat yang suci di mana_ manusia bisa bertemu dengan penciptanya.

Bangunan Induk memiliki atap berbentuk seperti cupola atau kubah. Diatas atap dipasang salib, pada ujung atap dipasang gambar simbolis keempat pengarang injil yakni Mateus (manusia hersayap), Markus (singa yang bersayap), Yohanes (burung rajawali) dan Lukas (lembu jantan), yang menunjukkan arah mata angin. Atap bangunan yang berbentuk gunungan itu dibentuk dari empat lengkungan kayu yang ujung simpangnya merupakan bagian pengunci. Lengkungan itu menyangga suatu jaringan kawat galvanis, yang di atasnya dipasang genteng-genteng, yang akan bereaksi dengan tenang dan memamtul pada setiap tekanan angin.

Altar yang ada dalam gereja ini menarik dan punya bentuk yang khan, dibuat dari batu massif, kemudian dipahat, terlihat seekor rusa yang sedang minuet air, sedangkan rusa yang lain sedang menunggu minute air. Rusa yang sedang minum air menggambarkan mereka yang telah dibaptis, sedangkan rusa yang menunggu untuk indium air mcilggainbarkan talon baptis atau para katekumen. Air yang mengalir dari 7 sumber melambangkan 7 sakramen dalant gereja. Sesuai dengan tata cara liturgi pada waktu itu, yaitu sebelum Konsili Vatikan it tahun 1965, maka bila Pastor mempersembahkan misa di altar, dia membelakangi umat, tidak menghadap ke arah umat seperti yang lain dalam tata cara misa saat sekarang,

Di atas altar terdapat relief dari batubata merah yang disusun tanpa semen, tapi menggunakan campuran air, kapur dan gula, kemudian batu-batu bata digosok dan direkatkan pada bath bata lainnya dengan campuran tadi sehingga saling menggigit dengan baik walaupun tidak menggunakan adukan semen seperti jaman sekarang ini.
Diatas altar terdapat tabernakel dari kUningan, tempat untuk mcnyimpan Hosti,dikiri kanan tabernakel suci terlillat gambar keempat penginjil Mateus (manusia bcrsayap), Markus (singa yang bcrsayap), Yohanes (bUrung bcrsayap), Lukas (lembu-jantan). Persis di atas altar kelihatatt gambar kain dengan gambar Yesus, di atasnya ada gambar Hati Kudus Yesus yang tertusuk tombak, kemudian tulisan INRI.
Disampingnya kelihatan gambar para malaekat. Sebenarnya di bagian atas mahkota, yang sckarang sudah rusak/hilang. Relief yang dibuat dari batu bata merah atau batu bata, mirip dengan relief yang biasa ada pada candi-candi jaman Mojopahit .
Bila kita melihat pada sisi sebelah Barat (atau kiri altar) kita lihat relief perjamuan pesta perkawinan di Kana yang dihadiri oleh Yesus, para rasul dan Bunda Maria (Yoh 2: 1-11), dibagian Barat di atas pintu sakristi kita lihat gambar Abraham yang akan mengorbankan Iskak anaknya (Kej. 22: 1-19).
Kemudian terdapat patung Maria dari batu yang menggambarkan Bunda Maria sedang menggendong kanak-kanak Yesus. Patung itu terletak dalam lekukan yang menggambarkan litani Maria. Kemudian di sana juga terlihat bejana baptis dari kerang yang besar, di atasnya kelihatan relief yang menggambarkan ketika Yesus dibaptis di sungai Yordan (Mat 3:13-17).
Kemudian di bagian paling atas kita melihat relief yang menggambarkan perahu Nuh dan seekor merpati terbang membawa daun yang hijau, setelah air bah surut (Kej. 8:11).

Di sebelah Timur altar (atau kanan altar) tampak relief Yesus yang sedang menggandakan roti untuk 5000 orang (Mrk 6,30-44), Kemudian di atas pintu masuk sakristi kita melihat relief Imam Agung Melkisedek sedang mempersembahkan roti dan anggur kepada Allah (1ih. Kej. 16:1820). Di sebelah Timur kita melihat patung Yesus terbuat dari batu. Lengkungan di mana terdapat patung Yesus itu dihiasi dengan relief yang menggambarkan sebutan-sebutan untuk Yesus dalam litani Hati Kudus Yesus.
Apa maksud relief di altar dan sekeliling altar? Untuk memberikan hiasan pada altar. Selain untuk hiasan gambar-gambar tadi merupakan sarana untuk katekese atau untuk mengajar umat yang sederhana. Relief semacam ini biasa terdapat dalam katedral katedral dan gereja-gereja kuno di Eropa, dimana terdapat relief, patung-patung dan mosaik dari kaca yang indah sekali. Karena orang pada waktu itu duduk bersila di lantai ketika mengikuti misa, maka relief dibuat rendah supaya mudah dilihat. Sekarang pun kalau misa orang juga masih duduk bersila atau "lesehan" (bahasa Jawa).

BAGIAN PENDAPA
Kalau dalam bangunan Induk terdapat banyak hiasan maka bagian Pendapa ini yang merupakan ruangan terbuka tidak ada hiasannya sama sekali. Bangunan pendapa ini untuk umat yang belum dibaptis atau calon baptis. Dalam Kerajaan Jawa dulu selalu terdapat bagian terbuka atau Pendapa, yang merupakan tempat persiapan sebelum seseorang masuk kedalam istana menghadap raja, demikian pula bagian pendapa ini merupakan tempat persiapan sebelum umat menghadap Allah yang menjadi Raja mereka.

GAPURA MIRIP CANDI
Kalau bagian dalam gereja terbuat dari batu bata/ merah maka bangunan luar semuanya terbuat dari batu bulat yang memang banyak terdapat di daerah Puh Sarang. Pintu gerbang masuk Puh Sarang dibuat dari batu seperti yang biasa terdapat dalam sebuah candi, di mana terdapat banyak tangga.
Kemudian terdapat juga tembok keliling dari batu yang merupakan ciri khas kerajaan Majapahit dan juga kraton di Jawa dan Bali. Di sekeliling tembok kelihatan 14 stasi Jalan Salib yang terbuat dari batu mata merah/terrakota. Di sini kita melihat bagaimanakah usaha dari ir. Maclaine Pont memasukkan unsur atau gaya dari kebudayaan asli atau daerah.

Disebelah barat terdapat replika atau miniatur Gua Maria Lourdes, dengan sebuah patung terbuat dari batu kali. Sedangkan di sebelah timur terdapat gua di mana terdapat patung Pieta atau Patung Maria yang sedang memangku Yesus yang baru diturunkan dari salib. Patung Pieta ini mengingatkan kita akan patung Pieta dari Michael Angelo yang terdapat di Basilika St. Petrus di Roma.
Patung Pieta tadi terletak di atas sebuah Tabernakel, yang sekarang sudah tidak dipakai lagi. Tabernakel ini unik bentuknya karena pintunya dibuat seperti pintu makam orang Yahudi, agaknya tabernakel ini mau menggambarkan makam kosong di makam dulu Yesus dimakamkan dan kemudian bangkit dari sana setelah dimakamkan selama tiga hari (Mrk. 16:1-8).

Ir. Henricus Maclaine Pont dan pastor Henricus Wolters, CM. Arti tangga yang harus dilewati dari bawah sebelum sampai ke gereja adalah untuk mengajak orang meneliti batinnya sebelum menghadap Tuhan Sang Raja di Istana-Nya di Bait Kudus-Nya. Selain gapura St Henricus terdapat gapura St Yosef, yang merupakan pintu masuk ke makam atau kuburan untuk umat di Puh Sarang. Dalam kuburan terdapat altar dari batu. Ide kuburan yang menyatu dengan gereja atau disebut "Kerkhof" dalam bahasa Belanda atau biasa disebut orang sini Kerkop, sesuatu yang biasa kita lihat di gereja-gereja di Eropa, khususnya di kota kecil atau pedesaan di mana kuburan umat terletak dekat gereja paroki.

GAPURA ST. YOSEF DAN MENARA HENRICUS
RUANG GAMELAN DAN PATUNG KRISTUS RAJA

Kalau orang mau masuk ke gereja Puh Sarang, maka harus melewati anak tangga terbuat dari batu di antara lengkungan gapura, rasanya seperti masuk bangunan candi. Pada bagian tengah terdapat gapura mirip gapura Candi Bentar. Namun yang khas di sini ialah bahwa di atasnya terpasang lonceng, sehingga gapura itu berfungsi sekaligus sebagai menara lonceng. Di puncak gapura terdapat ayam jago, seperti yang biasa terdapat dalam menara gereja. Di sana ada relief yang menggambarkan ketika Adam jatuh ke dalam dosa. Sayang relief tadi tidak kelihatan karena ada di atas. Maka orang menyebut gapura yang berfungi sebagai menara dengan sebutan Menara St Henricus. Mungkin untuk mengenang St. Henricus yang menjadi Santo Pelindung.

Di halaman luar, sebelum masuk gereja, terletak di sebelah kanan terdapat rumah untuk menyimpan gamelan. Gamelan itu dulu kala digunakan untuk mengiringi misa dan sendratari yang sering diadakan pada awal berdirinya gereja.

Di halaman gereja terdapat patung Kristus Raja, yang seolah-olah ingin menyambut para peziarah untuk masuk ke gereja. Di atasnya terdapat tiang batu di mana terdapat Perahu Nabi Nuh.

Di halaman yang sekarang dipakai untuk taman dulu kala terdapat sekolah dasar yang sekarang dipindahkan ke tempat lain di dekat gereja. Di tempat itu sekarang didirikan patung Bunda Maria dari Lourdes yang memakai mahkota.


BAHAN LOKAL DAN TENAGA LOKAL
Seperti halnya ketika membangun Museum di Trowulan dan tempat lainnya, Ir. H. Maclaine Pont selalu menggunakan bahanbahan lokal dan tenaga lokal atau buruh setempat, serta bangunan disesuaikan dengan situasi setempat.

Dalam hal membangun gereja Puh Sarang dia banyak memakai tukang-tukang yang telah berpengalaman dan membantunya waktu membuat museum di Trowulan. Mereka adalah ahli bangunan, ahli pahat, ukiran bahkan kemudian dia mendidik rakyat setempat untuk dilibatkan menjadi tenaga pembuat patung yang ahli. Banyak digunakannya batu-batu yang diambil dari kali Kedak yang ada di dekat Puh Sarang.
Walaupun di sana banyak pohon bambu tapi dia menggunakan kawat baja, sebab daya tahannya lebih kuat.
Selain dari itu waktu itu ada larangan dari Pemerintah Hindia Belanda untuk menggunakan bambu dalam membangun rumah guna mencegah penyakit pes, sebab tikus-tikus yang membawa kuman pes senang bersarang dalam bangunan bambu. Hasil kerajinan dari tanah (terracota) buatan tukang dan seniman lokal cukup terkenal hingga perang dunia kedua tahun 1945. Tapi entah mengapa kemudian menghilang dan tidak kelihatan bekas-bekasnya.
Mungkin karena tidak ada regenerasi atau pewarisan keahlian dan ilmu, atau karena perubahan jaman sehingga orang tidak lagi berminat bekerja dengan susah payah.

SUATU USAHA INKULTURASI DAN KARYA MONUMENTAL
Kompleks gereja Puh Sarang merupakan suatu usaha untuk menampilkan iman kristiani dan tempat ibadat katolik dalam budaya setempat. Banyak orang berpendapat bahwa bangunan yang dibuat di Puh Sarang indah dan unik serta merupakan karya monumental yang patut untuk dipelihara dan dijaga agar jangan musnah seperti museum Trowulan, yang hancur pada tahun 1960, sebab mulai tahun 1938 tidak ada lagi beaya untuk merawat museum tersebut.

Syukurlah ada gereja Puh Sarang yang menampilkan gaya Majapahit tapi dikombinasikan dengan gaya dari daerah lain dan iman kristiani. Yulianto Sumalyo dalam buku yang berjudul `Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993" menulis demikian mengenai gereja Puh Sarang:
"Seperti pada bangunan Trowulan, Tegal dan lain-lain untuk membangun gereja Pohsarang selalu menggunakan bahan-bahan lokal. Maclaine Pont menggunakan juga buruh setempat selain beberapa tukang yang sudah berpengalaman pada saat membangun museum. Gereja yang sarat dengan simbolisme ini merupakan suatu karya arsitektur yang sangat berhasil dilihat dari berbagai segi: mulai dari lokasi, tata massa, bahan bangunan, struktur dan ten tu saja fungsi dan keindahannya. Semua aspek termasuk budaya setempat dan filsafat agama dipadukan dalam bentuk arsitektur dengan amat selaras"

RENOVASI GEREJA
Kalau kita membandingkan keadaan kompleks Puh Sarang sekarang ini dengan keadaan pada waktu didirikannya pada tahun 1936 kita lihat sudah terjadi banyak perubahan dan penambahan bangunan serta luasnya areal yang dipakai untuk kepentingan umat. Bangunan ampiteater yang dulu untuk main sandiwara sudah tidak ada lagi, dan sebagai gantinya di tempat itu sekarang muncul Taman Hidangan Kana. Namun bangunan Induk yaitu Gereja tetap dipertahankan dalam bentuk aslinya, meskipun genting
nya dan kawat baja yang ada terpaksa diganti sebab sudah lapuk dimakan usia. Perbaikan dan renovasi itu perlu diadakan karena kalau tidak dilakukan gereja Puh Sarang akan rusak dan hancur seperti museum di Trowulan.
Kita harus bersyukur karena dari waktu ke waktu diadakan perbaikan atau renovasi. Gereja tetap terawat dan terpelihara karena tiap Minggu dipakai oleh umat untuk beribadat merayakan misa kudus.

RENOVASI PERTAMA TAHUN 1955
Renovasi pertama dilakukan pada tahun 1955 oleh Romo Paul Janssen, CM, yang waktu itu menjadi pastor di paroki St. Vincentius a Paulo, Kediri. Beliau memperbaiki atap tanpa merubah bentuk bangunan gereja.

RENOVASI KEDUA TAHUN 1974
Pada tahun 1974 kerusakan gereja Puh Sarang sudah mencapai taraf yang membahayakan. Kondisinya sudah begitu parah sehingga setiap saat bisa runtuh menimpa u mat yang sedang beribadah, maka renovasi tak dapat ditunda lagi. Berhubung waktu itu keuangan paroki sangat lemah begitu pula keadaan keuangan keuskupan Surabaya juga tidak mencukupi maka Romo Kumoro, Pr yang waktu itu menjadi Pastor Paroki punya gagasan untuk mengganti dinding gereja yang terbuat dari kayu dengan tembok biasa dari batu bata.

Demikian pula bentuk atapnya yang unik itu akan diganti dengan konstruksi blandar, usuk, reng dan berbentuk seperti layaknya kapel atau sebuah kelas. Dengan demikian diharapkan jangka waktu untuk renovasi berikutnya menjadi lebih lama. Untunglah hal ini tidak terjadi, andaikata ini terjadi hilanglah keindahan dan keunikan gereja Puh Sarang.
Ir. Johan Silas yang mendengar hal ini berpendapat bahwa gereja Puh Sarang ini bukan hanya monumen kebudayaan gerej a katolik tapi juga monumen negara Indonesia, sebuah warisan budaya yang layak dipertahankan. Maka atas bantuan In Johan Silas bersama mahasiswanya dimulailah renovasi kedua gereja Puh Sarang dengan konstruksi besi siku dan usuk jati tipis. Karena minimnya beaya maka Romo Fx. Wartadi, CM , romo stasi Puh Sarang waktu itu minta agar bagian gereja yang terpaksa diganti supaya bentuk aslinya tetap dipertahankan. Misalnya dinding yang dulu aslinya dari batang-batang kayu jati yang dibelah dua diganti dengan tembok yang dibentuk mirip kayu jati yang dibelah. Lantai dalam gereja, baik di panti imam maupun di tempat umat, yang dulu terbuat dari batu diganti dengan semen biasa supaya bisa dipakai tempat duduk bersila dengan enak. Bagian Pendopo yang dulu terbuka ditutup dengan papan, pendapa yang dulu sempit diperluas.

RENOVASI KETIGA TAHUN 1986
Renovasi ketiga diadakan oleh Romo Emilio Rossi, CM pada tahun 1986 dengan mengganti genteng yang sudah cukup usang,genting yang baru, yang dicetak khusus untuk keperluan ini. Beliau juga membuat gua Maria baru yang terletak di sebelah Utara dari makam umat.

RENOVASI KEEMPAT TAHUN 1999
Pada tanggal 22 Mei 1993 Romo Emilio Rossi, CM, pastor Kediri, melaporkan bahwa di gereja Puh Sarang terlihat perubahan bentuk pada busur kayu pendukung atap utama yang mulai bergelombang. Besi beton penatik di tepi busur di sebelah kolom segitiga sudah kendor atau tidak berfungsi lagi, gording-gording besi siku bertambah lendutannya, dan ada dugaan bahwa mungkin atap gereja mengalami penurunan akibat atap yang terlalu berat.

Dikawatirkan kalau gereja tidak lekas diperbaiki bisa rusak. Maka Tim pembangunan Keuskupan setelah mengadakan penilitian berpendapat bahwa harus diadakan perbaikan yang cukup besar. Tanggal 18 Mei 1999 diadakan peresmian mulainya renovasi keempat yang ditangani oleh Ir. Harry Widyanto dan Ir. A.S. Rusli dibantu oleh Ir. Djoko.
Diusahakan mengembalikan gereja Puh Sarang ke dalam bentuk aslinya. Pendopo yang sebelumnya tertutup akan dibuat terbuka dan diperkecil seperti bentuk semula. Bentuk atap yang selama ini menggunakan kayu dikembalikan ke bentuk semula dengan memakai kawat baja. Lengkungan yang dulu dari kayu diganti dengan besi baja supaya lebih tahan lama.
Gamelan yang selama ini disimpan dalam pendopo dipindahkan ke rumah gamelan yang sudah rusak atau tidak ada lagi. Renovasi keempat selesai dan diresmikan pemakainnya pada awal Yubileum tahun 2000, yaitu pada tanggal 26 Desember 1999 oleh Uskup Surabaya, Mgr. J. Hadiwikarta.
Maka bentuk gereja yang sekarang dikembalikan ke bentuk aslinya dan semua genting yang ada diganti dengan genting yang baru, yang dicetak khusus untuk keperluan ini.

WARNA ALKITABIAH DAN PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN
TEMPAT ZIARAH

Kalau kita melihat gereja yang lama maka di sana kita melihat banyak dipakai simbol atau peristiwa-peristiwa yang diambil dari Kitab Suci. Yang menarik bagi kami betapa seringnya simbol Bahtera Nuh dipakai baik dalam bentuk gereja, relief dalam tembok gereja maupun juga di luar gereja.

Gereja atau Umat Allah sering digambarkan bagaikan Bahtera atau Perahu yang berlayar menuju ke Tuhan. Oleh karena warna alkitabiah yang kental dalam gereja kuno maka ketika diadakan renovasi dan penambahan ruangan serta prasarana baru dipakai nama-nama dari Kitab Suci seperti misalnya : Gedung Serba Guna Emaus, Taman Hidangan Kana, Bumi Perkemahan bukit Tabor dan lain-lain.

Apa yang dulu secara kecil ada dalam gereja kuno dikembangkan menjadi bangunan yang besar seperti misalnya Gua Maria Lourdes yang dulu kecil di samping gereja, kini diwujudkan dalam membangun tempat ziarah baru. Patung Pieta yang dulu ada di samping gereja menjelma menjadi Columbarium Pieta, Makam Kosong sekarang diwujudkan dalam Makam Kosong pada Jalan Saliyang baru. Gambar yang ada dalam Lengkungan di mana terdapat patung Bunda Maria dilcembanglcan menjadi tiga buah Pondok Rosario.


POS KEAMANAN DAN POSKO KESEHATAN

Untuk memberikan rasa aman kepada para pemakai bukit perkemahan dan mereka yang berziarah ke makam, di pojok Bumi Perkemahan terdapat sebuah Pos Kcamanan. Di samping itu di muka pintu masuk Mausoleum dan Bumi Perkemahan terdapat Posko Kesehatan yang tidak dibuka setiap hari, hanya kalau ada acara besar seperti Novena, Misa Jumat Legi dan acara besar lainnya di mana banyak orang yang datang.